Tak lama menjelang pernikahannya dengan Nurbas, Andry lelaki tampan dari calon mempelai pria mengeluh akan kesehatan dirinya yang akhir-akhir ini menurun tanpa sebab, dan konon sumirnya kena santet, "Bener ada nggak sih".Betul sekali, istilah santet adalah sesuatu hal yang tak asing di masyarakat pedesaan bahkan perkotaan di negeri indonesia ini, bahkan sempat menjadi tajuk populer yang sempat bertahan dalam kurun waktu beberapa pekan di media- media televisi maupun cetak.Yang menariknya adalah ketika para anggota Dewan Perwakilan Raja meramu,merumuskan serta memproduksi kata-kata dalam pledoi publiknya untuk sebuah RUU pasal santet, yang lucunya menjadi perdebatan di kalangan akademisi bahkan menjalar keranah proletariat, boleh jadi karena ketidak jelasan dalam perkara substansi hukum, filosofi serta mekanisme perangkat pembuktian dalam perkara pidana, hal ini tak lebih melahirkan pro dan kontra walaupun bersifat paradoks dalam muatan subjektif di kalangan tataran mayoritas masyarakat.
Bagaimana Islam menjawab perihal trend topik turun menurun di kalangan masyarakat muslim ini?. Penulis akan mencoba memaparkan berdasarkan pemahaman ilmu, pencarian, realitas serta gejala sosial yang terjadi, yang layak untuk di angkat pertama adalah berkenaan dengan esensi santet itu sendiri apakan berkaitan dengan sihir atau tidak, faktanya bahwa istilah santet memang betul berangkat dari perbuatan sihir yang memiliki substansi perbuatan syirik yang jelas di haramkan dalam agama mayoritas di negeri ini, buktinya ialah dalam penggalan teks teologi Islam QS.Albaqoroh 102 :"Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), mereka mengerjakan sihir kepada manusia", jelas dalam pelarangan aktivitas ini.
Di tataran masyarakat kita mungkin tidak asing dengan istilah Dukun yang di sematkan kepada pelaku klenik bermuatan sihir, lantas bagaimana status pelaku sihir ini dalam islam, Para ulama berbeda pendapat tentang tukang sihir. Di antara mereka ada
yang mengatakan bahwa tukang sihir itu kafir, dan di antara yang
berpendapat demikian adalah Al Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.Imam Ahmad rahimahullah berkata kepada para muridnya: “Kecuali sihirnya
dengan obat-obatan, asap dupa dan menyiram sesuatu yang bisa memberikan
mudharat, maka tidaklah kafir.”Ibnu Al-Arabi menambahkan bahwa termasuk sihir yang mengkafirkan
seseorang adalah suhir pelet, yaitu sihir yang bisa membuat seorang
laki-laki tertarik kepada perempuan. Sihir ini disebut juga tuwalah .Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah dan juga pendapat Ibnu Al-Humam dari
kalangan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang muslim yang mengamalkan
sihir itu tidak kafir, namun dia berdosa besar. Namun mazhab ini
menyebutkan bahwa seorang yang melakukan sihir bisa saja menjadi kafir,
manakala mereka melakukan salah satu dari tiga hal yaitu mengerjakan perbuatan kufur bersama sihir, meyakini bahwa sihir itu boleh atau menghalalkan sihir, meyakini mampu menundukkan setan, semua pandangan status pelaku sihir ini merupakan referensi yang di kodifikasi dalam tulisan ini.
Pasal pidana santet yang beberapa pekan lalu digelorakan sekan tak berujung dan hilang dalam lautan opini publik lainnya, akan tetapi hal ini masih menyimpan tanda tanya di kalangan masyarakat karena dalam realitasnya praktek santet ini subur di masyarakat di tambah dengan rumor klenik Eyang Subur yang bergentayangan di media entertaiment yg jelas mempengaruhi para penikmat media.Mengapa menjadi pasal pidana, jelas pasal ini bertujuan untuk mempidanakan para pelaku santet di negeri ini, walaupun tidak memenuhi klasifikasi perangkat produksi hukum dalam perumusannya, wajar karena sistem yg lahir dari ideologi sekuler tidak dapat menunjang akan hal itu, sebaliknya semakin merusak tatanan nilai2 falsafah pancasila yang di dengung dengungkan oleh mereka, sungguh ironis. Berbeda dalam ideologi Islam yang memuat perangkat hukum yang sanggup menyelesaikan perkara2 besar bahkan kecil,contohnya dalam kasus santet ini penulis kan memaparkan pandangan2 dari beberapa pandangan yang akan di jadikan bahan diskusi pada kesempatan malam ini.
Para pakar keislaman khususnya yang datang dari kelompok ahli Tafsir
mereka berbeda pendapat mengenai hukum sihir baik yang berkaitan dengan
si pelaku atau tukang sihir itu sendiri, adapun yang berkaitan dengan
bagaimana hukum mempelajari dan mengamalkannya diantaranya adalah:
Imam Malik Rahimahullah berkata: Tukang sihir yang mengerjakan sihir
adalah seperti orang yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya. “Demi
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya
(Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat?.
(QS. Al-Baqarah 102).
Maka saya berpendapat harus dibunuh apabila dia sendiri mengerjakannya.
Imam Al-Qurthubi Rahimahullah berkata: Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum tukang sihir muslim dan zimmi.
Imam Malik berpendapat bahwa seorang muslim apabila mensihir sendiri
dengan suatu ucapan yang berwujud kekafiran maka ia dibunuh, tidak
diminta taubatnya, dan taubatnya tidak diterima karena itu adalah
perkara yang dilakukannya dengan senang hati seperti orang zindiq dan
berzina. Juga karena Allah menamakan sihir dengan kekafiran di dalam
firman-Nya: “Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada
seseorang pun sebelum mengatakan Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu,
sebab itu janganlah kamu kafir?” (QS. Al-Baqarah: 102)
Ibnu Munzir Rahimahullah berkata: Apabila seseorang mengakui bahwa
dia telah mensihir dengan ucapan yang berupa kekafiran maka wajib
dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga jika terbukti
melakukannya dan bukti itu menyebutkan ucapan yang berupa kekafiran.
Jika ucapan yang dipakai untuk menyihir bukan berupa kekafiran maka dia
tidak boleh dibunuh. Dan jika dia menimbulkan bahaya pada diri orang
yang tersihir maka wajib diqishas. Ia di-qishas jika sengaja
membunuhnya. Jika termasuk yang tidak dikenakan qishas maka dikenakan
diyat.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: Telah berdalil dengan
firman Allah: `Sekiranya mereka beriman dan bertakwa`, orang yang
berpendapat mengkafirkan tukang sihir, sebagaimana riwayat dari Imam
Ahmad bin Hanbal dan sekelompok dari ulama salaf. Dikatakan bahwa dia
tidak kafir, tetapi hukumannya dibunuh, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Imam Syafi`i dan Imam Ahmad keduanya berkata; Telah menceritakan
kepada Sofyan Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa ia mendengar Bajlah
bin Abdah berkata:`Umar bin Khattab memutuskan agar setiap tukang sihir
lelaki ataupun wanita agar dibunuh. Ia (Bajlah) berkata, kemudian kami
membunuh tiga tukang sihir`.
Ia (Ibnu Katsir) berkata: Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab
sahihnya. Masih menurut Imam Ibnu Katsir ia berkata: Demikianlah
riwayat sahih menyebutkan bahwa Hafsah Ummul Mu`minin pernah disihir
oleh wanita pembantunya, lalu beliau memerintahkan agar wanita itu
dibunuh. Imam Ahmad berkata; Dalam riwayat shahih dari tiga orang
sahabat Nabi saw disebutkan bahwa mereka pernah membunuh tukang sihir.
Menurut Imam Malik bahwa hukum tukang sihir sama dengan hukum orang
Zindiq, maka tidak diterima taubatnya dan dibunuh sebagai hukumannya,
jika terbukti melakukannya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam
Ahmad.
Imam Syafi`i berkata: Tukang sihir tidak dibunuh kecuali jika dia mengakui bahwa dia membunuh dengan sihirnya.
Demikian beberapa pandangan berkenaan dengan hukum sanksi untuk para pelaku sihir, yang masih belum jelas dan patut didiskusikan ialah masuk dalam kategori manakah aktivitas sihir ini dalam standar jinayatnya, apakah hudud, qishos, ta'zir atau mukhlafat,dan bagaimanakah standar pembuktiannya dalam pengadilan pemerintahan Khilafah kelak?, mungkin inilah pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban serta penjelasan yang di butuhkan oleh masyarakat muslim pada masa pra Khilafah di tengah tengah iklim sekuler, dimana santet dan semacamnya sekan menjadi sebuah trend sosial.